Renungan Sains dan Agama
Orang
yang sangat beragama, apalagi tipe agamanya evangelikal (ada dalam semua
agama), sangat sukar menjadi saintis tulen meskipun dia sedang studi sains
secara formal. Orang semacam ini dapat disebut sebagai seorang saintis teis:
saintis sekaligus percaya penuh pada Allah yang personal antropomorfik. Bisakah
seseorang menjadi saintis sejati sekaligus percaya pada Allah yang antropomorfik,
Allah yang mengambil rupa dan sifat manusia? Dalam
agama-agama teis, Allah yang antropomorfik dipercaya suka mengintervensi
jalannya hukum-hukum alam, ketika dia membuat mukjizat. Sedangkan seorang
saintis akan menyatakan bahwa hukum-hukum alam atau hukum-hukum sains sudah
tetap dan berlaku universal, tak bisa diintervensi oleh apapun. Stephen
Hawking pernah menyatakan, hukum-hukum sains yang bisa diintervensi oleh suatu
Allah bukanlah hukum-hukum sains. Albert
Einstein pernah didesas-desuskan sebagai seorang saintis teis, yang percaya
pada Allah yang antropomorfik sekaligus sebagai saintis sejati yang sangat
cemerlang. Tapi
dengan tegas Einstein membantah desas-desus ini dan menyatakan dengan sangat
terang bahwa dia tak percaya pada Allah yang personal antropomorfik.
Tulis
Einstein, “Tentu saja suatu dusta jika anda membaca tentang
keyakinan-keyakinan keagamaan saya, suatu kebohongan yang dengan sistimatis
diulang-ulang. Saya tidak percaya pada suatu Allah personal dan saya tidak
pernah menyangkali hal ini tetapi telah mengungkapkannya dengan jelas. Jika ada
sesuatu dalam diri saya yang dapat disebut religius, maka ini adalah suatu
kekaguman tanpa batas terhadap struktur dunia yang sejauh ini sains dapat
menyibaknya.”
Kalaupun
dia percaya pada suatu Allah, kata Einstein, dia percaya hanya pada Allah
Spinoza.
Baruch
de Spinoza pernah menyatakan Deus sive Natura: Allah atau alam itu sama. Bagi
Spinoza, alam raya ini dengan segala hukumnya yang tetap dan berlaku universal
dalam jagat raya kita adalah Allah. Inilah the Spinozian God. Selain
memandang alam ini sebagai Allah, Einstein juga mengalami suasana religius
dalam jiwanya ketika dia dibuat kagum oleh orde kosmos.
Tulis
Einstein, “Saya tidak pernah mengenakan pada Alam suatu maksud dan tujuan,
atau apapun yang dapat dipahami sebagai antropomorfisme. Apa yang saya lihat
dalam Alam adalah suatu struktur yang menakjubkan, yang dapat kita pahami hanya
dengan sangat tidak sempurna, dan hal itu harus mengisi seorang pemikir dengan
suatu perasaan kerendahan hati. Ini adalah suatu perasaan religius murni yang
tidak ada hubungannya dengan mistisisme.”
Memakai
kata “Allah” secara metaforis, Einstein menulis, “Allah tidak sedang bermain
dadu.”
Ucapannya ini kini terbukti keliru! Kini terkenal juga sebutan “the Einsteinian God”. Dalam hubungan dengan Allah, seorang saintis bisa tetap saintis sejati jika dia percaya hanya pada Allah Spinoza atau Allah Einstein. Tapi masih ada jalan lain lagi untuk seorang saintis bisa tulen sebagai saintis sekaligus menerima adanya Allah yang antropomorfik. Yakni, si saintis menjadi seorang deist. Dalam deisme, Allah dipercaya ada, tetapi tinggal jauh di atas sana dan sama sekali tak mencampuri jalannya hukum-hukum sains. Dalam deisme, Allah dipercaya pernah menciptakan jagat raya dan hukum-hukum alam, tapi sesudahnya dia tak mencampuri semua urusan dunia alam. Sekian founding fathers negara besar USA adalah para deists.
Ucapannya ini kini terbukti keliru! Kini terkenal juga sebutan “the Einsteinian God”. Dalam hubungan dengan Allah, seorang saintis bisa tetap saintis sejati jika dia percaya hanya pada Allah Spinoza atau Allah Einstein. Tapi masih ada jalan lain lagi untuk seorang saintis bisa tulen sebagai saintis sekaligus menerima adanya Allah yang antropomorfik. Yakni, si saintis menjadi seorang deist. Dalam deisme, Allah dipercaya ada, tetapi tinggal jauh di atas sana dan sama sekali tak mencampuri jalannya hukum-hukum sains. Dalam deisme, Allah dipercaya pernah menciptakan jagat raya dan hukum-hukum alam, tapi sesudahnya dia tak mencampuri semua urusan dunia alam. Sekian founding fathers negara besar USA adalah para deists.
Allah
dalam deisme bisa dimetaforakan sebagai seorang pembuat arloji yang indah.
Setelah Allah deis ini membuat arloji yang sempurna berjalan menurut kerja
mesinnya sendiri, arloji itu tak berhubungan lagi dengan Allah ini. Arloji itu
berjalan sendiri, berfungsi sempurna, meskipun sudah tak dipantau atau dijaga
lagi oleh si pembuatnya. Atau
seseorang bisa tetap saintis tulen dengan tak mengambil sikap dan posisi apapun
terhadap agama, dengan menjadi seorang saintis agnostik. Seorang agnostik
berdalih bahwa yang namanya Allah itu tak bisa dikenal atau diketahui oleh
manusia dengan cara apapun, apakah ada ataukah tak ada. Seorang agnostik itu
menolak kalau dia disebut ateis, tapi sekaligus mengambil sikap acuh tak acuh
pada isu ketuhanan. Jadi,
adakah jalan untuk tetap sebagai saintis tulen sekaligus percaya pada Allah?
Jalannya ada, yakni si saintis percaya pada Allah Spinoza atau Allah Einstein,
Allah yang sama sekali bukan Allah agama-agama monoteis. Atau, si saintis
menjadi seorang deis atau seorang agnostik. Tetapi,
sekali lagi, adalah hal yang sama sekali tak mungkin untuk seseorang menjadi
saintis sejati sekaligus percaya pada Allah antropomorfik. Allah antropomorfik
adalah Allah agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Tak
mungkin seorang saintis sejati percaya sebagai fakta bahwa Allah melanggar
hukum-hukum alam hanya untuk menyelamatkan umatnya.
Tak
mungkin seorang kosmologiwan sejati percaya sebagai fakta bahwa Allah
menciptakan the big bang dan terus mengendalikan ekspansi jagat raya,
yang pada suatu saat nanti akan mengerucut kembali menjadi the Big
Crunch. Tak
mungkin seorang saintis sejati percaya sebagai fakta bahwa manusia muncul di
muka Bumi langsung dewasa, sebagai Adam dan Hawa yang sudah matang, karena
diciptakan oleh Allah. Tak
mungkin seorang saintis sejati percaya sebagai fakta bahwa orang jahat akan
dibuang nanti ke neraka oleh Allah, setelah dunia berakhir.Tak
mungkin seorang saintis sejati percaya sebagai fakta bahwa orang baik akan
dimasukkan nanti ke surga oleh Allah, setelah dunia berakhir. Tak
mungkin seorang saintis sejati percaya sebagai fakta bahwa setelah kematian,
manusia dihadapkan pada surga atau neraka abadi. Tak
mungkin seorang saintis sejati percaya sebagai fakta bahwa dirinya nanti akan
lahir kembali dalam tubuh yang lain dengan identitas yang sama. Dalam pandangan
seorang saintis tulen, identitas, jati diri dan kepribadian seseorang
sepenuhnya terekam dalam organ otaknya, sehingga begitu seseorang mati dan
otaknya membusuk lenyap, maka lenyap pula identitas, jati diri dan
kepribadiannya selamanya. Jadi,
sama sekali tak dimungkinkan untuk seorang saintis sejati bisa tetap menjadi
seorang teis tulen. Scientific theism itu sebuah HOAX!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar